-->

Kurikulum Pendidikan Agama Islam Dengan Model Kurikulum Integratif


PENDAHULUAN

Sebagai kajian awal wacana kerangka berfikir menyusun kurikulum Pendidikan Agama Islam Integratif, sekaligus penyusun akan memaparkan secara lebih luas dan tajam wacana kurikulum pendidikan itu sendiri dalam perspektif makalah ini. Hal ini akan memperjelas posisi kurikulum sesuai yang penyusun maksud, sehingga tidak keluar dari bahasan yang diinginkan dari awal. Sebagaimana pendapat Muchtar Buchori yang dikutip oleh Muhaimin dkk dalam  bukunya  yang  berjudul “Paradigama  Pendidikan  Islam  Upaya Mengefektifikan Pendidikan Agama Islam di Sekolah”. Dikalangan masyarakat Indonesia akhir-akhir ini, istilah “pendidikan” mendapat arti yang sangat luas. Kata-kata pendidikan, pengajaran, bimbingan dan pelatihan, sebagai istilah-istilah teknis tidak lagi dibeda-bedakan oleh masyarakat kita, tetapi ketiga-tiganya lebur menjadi satu pengertian gres wacana pendidikan (Muhaimin, dkk,2001:37).





Di dalam UU RI No. 20 th 2003 wacana sistem pendidikan nasional,   pasal I misalnya, dijelaskan bahwa “pendidikan yaitu perjuangan sadar dan berkala untuk mewujudkan suasana mencar ilmu dan proses pembelajaran biar akseptor didik secara aktif mengemangkan potensi dirinya  untuk  memiliki  kekuatan  spiritual,  keagamaan,  pengendalian  diri, kepribadian, kecerdasan, sopan santun mulia, serta ketrampilan yang diharapkan dirinya, masyarkat, bangsa dan negara (UU Sisdiknas RI No.20 Tahun 2003:5).

Pengertian  pendidikan  bahkan  lebih  diperluas  cakupannya  sebagai acara dan fenomena.   Pendidikan sebagai acara berarti upaya yang secara sadar  dirancang  untuk  membantu  seseorang  atau  sekalompok  orang  dalam mengembangkan  pandangan  hidup (bagaimana  orang  akan  menjalani  dan  memanfaatkan hidup dan kehidupannya), sikap hidup dan ketrampilan hidup, baik yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental dan sosial. Sedangkan pendidikan sebagai fenomena yaitu bencana perjumpaan antara dua atau lebih yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup, sikap hidup atau ketrampilan hidup pada salah satu atau banyak sekali pihak (UU RI No.20 Tahun 2003:5).




Sedangkan berdasarkan Yusuf Amir Veisal pendidikan yaitu salah satu unsur dari aspek sosial-budaya yang berperan sangat strategis dalam pembinaan suatu keluarga, masyarakat, atau bangsa.   Kestrategian peranan ini pada pada dasarnya merupakan suatu ikhtiar yang dilaksanakan secara sadar, sistematis, terarah dan terpadu untuk memanusiakan akseptor didik serta menjadikan mereka sebagai khalifah dimuka bumi (Yusuf Amir Veisa,1995:1).

Kurikulum secara umum memang bisa dikatakan sebagai keseluruhan pengalaman yang akan disampaikan atau diwariskan kepada akseptor didik baik itu pengalaman pendidikan, kebudayaan moral, olah raga dan kesenian dengan maksud untuk berbagi potensi dan merubah tingkah laris dengan tujuan-tujuan yang ditetapkan.

Sedangkan berdasarkan UU RI No. 20 tahun 2003 wacana sistim pendidikan nasional pasal 1 ayat 9 kurikulum yaitu seperangkat planning dan pengaturan mengenai isi dan materi pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggara  kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum sangatlah  berarti  karena  merupakan  operasionalisasi  dari tujuan yang dicita-citakan, dalam arti tujuan pendidikan tidak akan berhasil dicapai  tanpa  keberadaan  kurikulum  pendidikan.  Kurikulum  pendidikan merupakan salah satu dari komponen pokok pendidikan, dan kurikulum itu sendiri juga merupakan sistem yang mempunyai komponen-komponen tertentu. Berangkat dari pengertian kurikulum yang diungkap oleh UU No. 20 tahun 2003 di atas, sanggup ditafsirkan bahwa komponen kurikulum meliputi:  pertama, tujuan dan sasaran, lantaran tidak akan bisa menyusun materi dan isi pelajaran serta metode yang efektif tanpa mengacu pada pencapaian suatu tujuan;  kedua, isi dan materi pelajaran; ketiga, metode atau kegiatan mencar ilmu mengajar dan  yang keempat, yaitu evaluasi, yakni upaya penilaian terhadap relevansi antar komponen efektifitas mencar ilmu mengajar.

R.W. Tyler mengajukan empat pertanyaan pokok yang harus dijawab dan dikemas dalam penyusunan kurikulum. (1)  Tujuan apa yang harus dicapai  sekolah; (2) Bagaimana menentukan materi pelajaran guna mencapai tujuan itu; (3) Bagaimana materi disajikan biar efektif diajarkan, dan (4) Bagaimana efektifitas mencar ilmu sanggup dinilai. Berdasarkan pertanyaan di atas sanggup diperoleh keempat komponen kurikulum, yakni: tujuan, materi pelajar, proses mencar ilmu mengajar, dan penilaian (Nasution,1994:7).

Ahmad Tafsir mengidentifikasikan “Proses mencar ilmu mengajar” dengan “metode”,( Ahmad Tafsir,1992:54) sementara Sukmadinata menafsirkan dengan sistem penyampaian (metode) dan penggunaan media (alat pengajaran). Dengan menjadikan sistem penyampaian dan media dalam satu sub komponen kurikulum oleh Sukmadinata (Nana Syaodih Sukmadinata,1997:102) memperlihatkan bahwa keduanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Penggunaan metode tertentu secara implisit mengindikasikan pada penggunaan media/alat pengajaran tertentu.

Dari uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa komponen kurikulum ada empat, yaitu : tujuan, materi ajar, proses mencar ilmu mengajar (metode) dan evaluasi. Keempat komponen itu saling berhubungan. Setiap komponen bertalian bersahabat dengan ketiga komponen lainnya. Ringkasnya konsep kurikulum yang penulis maksud yaitu “kurikulum sebagai sistem” (Burhan Nurgiantoro,1998:9). Artinya kurikulum dipandang sebagai planning dan pengaturan  acara pendidikan yang didalamnya terdapat beberapa komponen atau bagianbagian  yang  saling  mempengaruhi  dan  mendukung  serta  membentuk  satu kesatuan yang tak terpisahkan.

PEMBAHASAN

Penyusunan  kurikulum  membutuhkan  landasan-landasan  yang  berpengaruh didasarkan atas pemikiran dan penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum harus mengikuti prinsip-prinsip tertentu yang menjadi bingkai biar tidak keluar dari tujuan semula. Istilah “integratif” yaitu nama salah satu jenis kurikulum sebagai implikasi dan macam-macam desain kurikulum yang ada. Jadi  ada  empat  hal  subtansional  yang  harus  diperhatikan  dalam penyusunan kurikulum Pendidikan Agama Islam integratif:



  1. Landasan penyusunan kurikulum 
  2. Prinsip-prinsip kurikulum Pendidikan Agama Islam
  3. Desain kurikulum 
  4. Konsep kurikulum Pendidikan Agama Islam Integratif

Dengan empat hal ini diharapkan diperoleh citra yang memadai wacana apa dan bagaimana konsep kurikulum Pendidikan Agama Islam integratif dan ditentukan pada unsur-unsur yang harus dikonsultasikan dengan al-Qur’an sebagai sumber etika.

Landasan Penyusunan Kurikulum

Sukmadinata dan Nasution mengemukakan bahwa secara komulatif landasan penyusunan kurikulum yaitu : (1) landasan filosofis, (2) landasan psikologis, (3) landasan sosiologis, (4) landasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, (5) landasan organisatoris.

Landasan Filosofis

Pendidikan berintikan interaksi antar manusia, terutama antara pendidik dan akseptor didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Di dalam interaksi tersebut terlibat isi yang diinteraksikan serta proses bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendidikan, siapa pendidik dan terdidik, apa isi pendidikan dan bagaimana proses pendidikannya,  merupakan  pertanyaan-pertanyaan  yang  membutuhkan tanggapan fundamental dan esensial yaitu tanggapan filosofis.

Secara harfiah filosofis (filsafat) berarti cinta akan kebijakan-kebijakan (love of wisdom) orang-orang mencar ilmu berfilsafat biar agar ia menjadi orang yang mengerti dan berbuat bijak, untuk sanggup mengerti kebijakan dan berbuat secara baik, ia harus tahu atau berpengetahuan (Nana Syaodih Sukmadinata,1997:39).

Dalam  kajian  filsafat  terdapat  banyak  aliran.  Usaha-usaha pengembangan kurikulum tidak sanggup terlepas dari efek aliran filsafat yang  dianutnya.  Aliran-aliran  filsafat  pendidikan  yang  mendasari pendidikan termasuk dalam penyusunan kurikulum berdasarkan Brameld, dapat  Diklasifikasikan  menjadi  empat  aliran,  yaitu:  progresifisme,  esensialisme, perenialisme dan rekonstruksionisme (Noor Syam, 1986:224).

Progresifisme  berpendirian  bahwa  manusia  itu  mempunyai kemampuan-kemampuan yang masuk akal untuk menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam eksistensi insan dalam usahanya untuk mengalami kemajuan atau progres (Imam Barnadib,1982:28). Karena itu ilmu pengetahuan yang sanggup menumbuhkan kemajuan atau progres yaitu kepingan yang utama dari kebudayaan.

Sarana utama untuk memperoleh pengetahuan dan kebijakan yaitu pengalaman (Nana Syaodih Sukmadinata,1997:39). Pengetahuan yaitu pengalaman-pengalaman yang telah  dipolakan,  diatur  dan  diorganisasikan  sedemikian  rupa (Imam Barnadib,1982:30). Pengetahuan bersifat rasional, empirik dan sanggup ditingkatkan menjadi kebenaran. Dengan demikian kurikulum pendidikan berdasarkan progresifme bersifat eksperimental, mempertinggi kecerdasan, dan mamandang akseptor didik  sebagai  kesatuan  jasmani,  rohani  serta  manifestasinya  sebagai tingkah laris dan perbuatan yang berada dalam pengalaman (Imam Barnadib,1982:35). Metode ini bukan suatu keharusan mutlak, yang terang metode harus fleksibel dan menimbulkan inisiatif kepada  para siswa.

Esensialisme berpendirian bahwa pendidikan berfungsi sebagai pemelihara kebudayaan, lantaran itu pendidikan harus didasarkan pada nilai-nilai esensial kebudayaan yang telah ada semenjak awal peradaban umat manusia. Kebudayaan itu bersumber dari aliran para filosuf, andal ilmu pengetahuan yang mempunyai nilai-nilai yang bersifat kekal dan monumental yang telah teruji oleh sejarah (Imam Barnadib,1982:48).

Manusia dalam pandangan esensialisme yaitu makhluk yang padanya berlaku aturan mekinistik evolusionistik di samping merupakan refleksi dari Tuhan (Imam Barnadib,1982:48). Oleh akibatnya perbuatan insan sanggup dipahami sebagai konvergensi antara pembawa-pembawa siologis dan pengaruhnya dari lingkungan (Imam Barnadib,1982:5).

Sedangkan  parenialisme  muncul  sebagai  reaksi  terhadap kebudayaan  manusia  yang  sedang  krisis.  Aliran  ini  memperlihatkan pemecahan dengan jalan kembali kepada prinsip umum yang telah menjadi dasar tingkah laris dan perbuatan zaman kuno dan era pertengahan. Dalam arti kepercayaan-kepercayaan aksiomatis mengenai pengetahuan, realitas  dan  nilai  dari  zaman  tersebut (Imam Barnadib,1982:59). Sikap  ini  bukan  nostalgia, melainkan  berkeyakinan  bahwa  nilai-nilai  asasi  tersebut  mempunyai kedudukan vital bagi pembangunan kebudayaan era sekarang. Pengetahuan berdasarkan parenialisme yaitu hasil persatuan dunia luar dengan indera yang telah diolah oleh budi manusia. Budi yaitu kemamuan insan yang tinggi yang mempunyai impian untuk menuju kepada kebenaran sejati yang bersumber pada Tuhan (Imam Barnadib,1982:64). Sesuatu dikatakan mempunyai kebenaran sejati manakala memperlihatkan adanya persesuaian antara pikir dengan benda-benda dalam arti esensi. Metode efektif untuk menuntun orang hingga pada kebenaran hakiki yaitu pikiran sehat (Imam Barnadib,1982:68) baik itu bersifat induktif, deduktif maupun perpaduan dari keduanya.




Landasan Psikologis

Manusia  berbeda  dengan  makhluk  lainnya  karena  kondisi psikologisnya. Yang dimaksud kondisi psikologis yaitu karakteristik psiki-fisik seseorang sebagai individu, yang dinyatakan dalam banyak sekali bentuk sikap dalam interaksi dengan lingkungannya (Nana Syaodih Sukmadinata,1997:46) Merujuk pada taksonomi  jiwa  yang  dikonsepsi  oleh  Blomm,  perilaku  sanggup diidentifikasikan menjadi tiga, yakni sikap kognitif, sikap efektif dan sikap psikomotorik. Kondisi psikologis setiap individu berbeda lantaran perbedaan tahap perkembangannya, latar belakang sosial budaya juga lantaran perbedaan faktor-faktor yang dibawa dari lahir.

Perkembangan  atau  kemajuan-kemajuan  yang  dialami  anak sebagian besar menjadi lantaran perjuangan belajar, baik melalui proses imitasi, pengingatan, pembiasaan, pemahaman, penerapan maupun pemecahan masalah. Cara mencar ilmu mengajar mana yang sanggup memperlihatkan hasil secara optimal serta bagaimana proses pelaksanaannya membutuhkan studi yang sistimatik  dan  mendalam.  Studi  yang  demikian  merupakan  bidang pengkajian dari psikologi mencar ilmu (Nana Syaodih Sukmadinata,1997:46)

Jadi  minimal  ada  dua  bidang  psikologis  yang  mendasari pengembangan kurikulum, yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Keduanya sangat diharapkan baik di dalam merumuskan tujuan, menentukan dan menyusun materi ajar, menentukan dan menerapkan metode pembelajaran serta teknik-teknik penilaian.
  • Psikologi Perkembangan
Psikologi perkembangan membahas perkembangan individu semenjak masa konsepsi, yaitu masa pertemuan sperma dengan sel telur hingga dengan cukup umur (Nana Syaodih Sukmadinata,1997:46).  Dalam  pembahasan  ini  dapat  ditemukan  prinsip-prinsip perkembangan  anak,  pola  perkembangan  anak  serta  karakteristik individu pada tahap perkembangan tertentu.

Psikologi perkembangan diharapkan terutama dalam memutuskan isi kurikulum yang diberikan kepada siswa biar tingkat keluasaan dan kedalaman materi pelajaran sesuai dengan taraf perkembangan anak. Adanya jenjang atau tingkat pendidikan dalam sistem persekolahan merupakan satu bukti bahwa psikologi perkembangan menjadi landasan dalam  pendidikan,  khususnya  kurikulum.  Psikologi  perkembangan bermanfaat bagi penyesuaian isi kurikulum biar sesuai dengan taraf perkembangan anak.
  • Psikologi mencar ilmu
Secara  tradisional,  belajar  dianggap  sebagai  menambah  ilmu pengetahuan  berarti  lebih  mengutamakan  aspek  intelektual.  Dan biasanya mencar ilmu ditempuh dengan jalan menghafal pelajaran (Nasution,1994:59). Pendapat lain menyampaikan bahwa mencar ilmu yaitu perubahan tingkah  laku  yang  terjadi  melalui  pengalaman.  Segala  perubahan tingkah  laku  baik  yang  berbentuk  kognitif,  afektif  maupun psikomotorik dan terjadi lantaran proses pengalaman sanggup dikategorikan sebagai sikap mencar ilmu (Nana Syaodih Sukmadinata,1997:14). Pengalaman yaitu suatu interaksi, yakni aksi, dan reaksi antara individu dengan lingkungan (Nasution,1997:14).

Landasan Sosiologis

Kita tahu bahwa pendidikan mempersiapkan akseptor didik untuk terjun ke masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan, tetapi memperlihatkan bekal pengetahuan, ketrampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat. Anak berasal dari    masyarakat, mendapat pendidikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan dalam masyarakat pula. Oleh lantaran itu kehidupan masyarakat, dengan segala karateristik dan kekayaan budayanya harus menjadi landasan dan sekaligus  acuan  bagi  penyusunan  kurikulum  sebagai  rancangan pendidikan.  Artinya  tujuan,  isi,  maupun  proses  pendidikan  harus diadaptasi dengan sistem sosial budaya, lingkungan alam, serta sarana dan prasarana yang ada.

Al-Quran sebagai sumber inspirasi Islam telah menjelaskan tatanan nilai-nilai yang Islami. Untuk mewujudkan masyarakat madani yang Islami,  penyusunan  kurikulum  Pendidikan  Agama  Islam  harus melandaskan dan mengacu pada tatanan nilai yang dijelaskan al-Quran  tersebut. Dengan penelaahan ini akan diperoleh citra representatif wacana masyarakat madani idaman al-Quran. Sehingga tujuan, isi dan proses  pendidikan  Islam  yang  terangkum  dalam  kurikulum  tidak menyimpang dari etika tersebut.

Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara eksklusif maupun tidak eksklusif menuntut perkembangan pendidikan. Pengaruh langsung  perkembangan  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi  yaitu memperlihatkan isi atau materi yang akan disampaikan dalam pendidikan dan menghipnotis proses pendidikan. Pengaruh tak eksklusif perkembangan ilmu  pengetahuan  dan  teknologi  adalah  menyebabkan  perkembangan masyarakat,  dan  perkembangan  masyarakat  menimbulkan  problemproblem  baru  yang  menuntut  pemecahan  dengan  pengetahuan, kemampuan   dan   ketrampilan   baru   yang   dikembangkan   dalam pendidikan (Nana Syaodih Sukmadinata,1997:78).

Untuk penyusunan kurikulum, Hilda Taba menegaskan bahwa ada dua hal yang perlu diperhatikan mengenai ilmu pengetahuan, yaitu the nature of knowledge dan the content of dicipline.

Landasan Organisatoris

Landasan  ini  berkenaan  dengan  masalah,  dalam bentuk  yang bagaimana materi pelajaran akan disajikan? Apakah dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah-pisah, ataukah diusahakan adanya kekerabatan antara pelajaran yang diberikan, ataukah diusahakan adanya kekerabatan secara lebih mendalam dengan menghapus segala batas-batas mata pelajaran, jadi  dalam  bentuk  kurikulum  yang  terpadu.  Ilmu  Jiwa  Asosiasi  yang berpendirian bahwa keseleruhan yang subject centered, atau yang terpusat pada  mata  pelajaran  yang  dengan  sendirinya  akan  terpisah-pisah. Sebaliknya ilmu jiwa gestalt lebih mengutamakan keseluruhan, lantaran keseluruhan itu lebih bermakna dan relevan dengan kebutuhan anak dan masyarakat. Aliran psikologi ini lebih cenderung menentukan kurikulum terpadu atau integrated curriculum (Nasution,1997:14).

Prinsip-prinsip Kurikulum Pendidikan Agama Islam

Kurikulum Pendidikan Agama Islam dikembangkan dengan menganut prinsip-prinsip tertentu yang merupakan kaidah yang menjiwai kurikulum itu dan digunakan sebagai bingkai biar kurikulum yang dihasilkan memenuhi keinginan yang diharapkan.

Al-Syaibani mengemukakan beberapa prinsip umum pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam sebagai berikut :


  1. Pertautan yang tepat dengan agama;Dalam arti bahwa, setiap yang berkaitan dengan kurikulum, termasuk falsafah, tujuan, materi, metode mengajar, cara-cara perlakukan dan hubungan-hubungan yang berlaku dalam lembaga-lembaga pendidikan harus berdasar pada nilai-nilai Islam. 
  2. Prinsip menyeluruh (universal); Pada tujuan-tujuan dan kandungan-kandungan kurikulum. Dalam arti bahwa, bilamana tujuan Pendidikan Agama Islam harus meliputi segala aspek pribadi akseptor didik, maka kandungan kurikulumnya pun harus mendukung tercapai tujuan tersebut. 
  3. Keseimbangan yang relatif antara tujuan dan kandungan kurikulum. ; Dalam arti bahwa al-Quran yang menjadi inspirasi kurikulum Pendidikan Agama Islam baik dalam menentukan falsafah menentukan jalan tengah, keseimbangan dan kesederhanaan dalam segala sesuatu.
  4. Kurikulum Pendidikan Agama Islam berprinsip pada keterkaitan dengan baik, minat, kemampuan dan kebutuhan akseptor didik, begitu juga dengan alam sekitar atau lingkungan dimana akseptor didik itu hidup dan berinteraksi untuk memperoleh pengetahuan, kemahiran, pengalaman dan sikap.
  5. Prinsip adanya perbedaan-perbedaan individual di antara para akseptor didik, baik dalam bakat, minat, kemampuan, kebutuhan maupun duduk masalah yang dihadapinya, dan juga perbedaan dan aneka ragamnya alam sekitar dan masyarakat. Dengan demikian kurikulum sanggup disusun dengan secara fleksibel.
  6. Prinsip perubahan dan perkembangan selaras dengan kemaslahatan masyarakat Islam, dengan tetap dilandasi oleh nilai-nilai Islam.
  7. Prinsip pertautan antara mata pelajaran, pengalaman dan acara yang terkandung dalam kurikulum dan juga pertautan antara kandungan kurikulum dengan kebutuhan akseptor didik masyarakat, tuntutan zaman dan kawasan dimana akseptor didik berada (Omar Muhammad al Toumy al Syaibany,tt: 520-522).

Sementara Abdurrahman an-Nahlawi
(1996: 273-277) dalam bukunya “Prinsip prinsip dan Metode Pendidikan Agama Islam”, menjelaskan bahwa suatu kurikulum Pendidikan  Agama  Islam,  penyusunannya  perlu  memperhatikan  prinsip-prinsip sebagai berikut :

  1. Selaras dengan fitrah insani sehingga mempunyai peluang untuk menyucikannya, menjaganya dari penyimpangan dan menyelamatkannya. 
  2. Berorientasi pada tujuan akhir. Implikasinya kurikulum di arahkan untuk mencapai tujuan simpulan pendidikan Islam, yaitu ikhlas, dan taat beribadah kepada Allah.  
  3. Memperhatikan periodesasi perkembangan akseptor didik maupun unisitasnya. Implikasinya pentahapan serta pengkhususan kurikulum hendaknya memperhatikan periodesasi perkembangan akseptor didik dan karaterisitk dalam tahap perkembangan tersebut.  
  4. Memelihara kebutuhan riil kehidupan masyarakat dengan tetap bertopang pada jiwa dan cita ideal Islaminya. Implikasinya kurikulum tersebut tetap memperhatikan dan memelihara banyak sekali kepentingan umat sesuai dengan kondisi dan lingkungannya yang dilimpahkan Allah. Struktur kurikulum harus memperhatikan setiap aspek kebudyaan sepanjang tidak bertentangan dengan Islam, bahkan sebaliknya menunjang peningkatan umat dan perealisasian syariat dan keadilan Allah.  
  5. Terarah pada pencapaian kesatuan jiwa umat. Implikasinya kurikulum dan bebagai tingkat dan jenjang sekolah itu tidak tampil secara awut-awutan dan saling bertentangan, melainkan berkesinambungan secara urutan dan keterpaduan secara terkoordinasi dan terintegrasi.  
  6. Realistik, implikasinya kurikulum dilaksanakan sesuai situasi dan kondisi.  
  7. Fleksibel, implikasinya kurikulum diadaptasi dengan situasi dan kondisi setempat serta bisa melayani perbedaan individual. 
  8. efisien dan efektif, artinya kurikulum memungkinkan. 
  9. pelaksanaannya, gampang ditangkap dan diserap siswa serta membuahkan hasil yang manfaat. 
  10. Memperhatikan aspek amaliah Islami, artinya kurikulum sanggup mewujudkan seluruh rukun, syi’ar, metode pendidikan, aliran dan sopan santun Islami.


Ada dua macam relevansi yang harus dimiliki kurikulum, yaitu relevansi ke luar dan relevansi ke dalam kurikulum itu sendiri. Relevansi ke luar maksudnya tujuan, isi dan proses mencar ilmu yang tercakup dalam kurikulum hendaknya relevan dengan tuntutan, kebutuhan dan perkembangan individu dan masyarakat. Relevansi di dalam artinya ada kesesuaian atua konsistensi antara komponen-komponen kurikulum, yaitu tujuan, isi penyampaian dan penilaian.

Relevansi internal ini memperlihatkan suatu keterpaduan kurikulum. Prinsip fleksibelitas yang dimaksudkan yaitu fleksibelitas dalam pemilihan  jenis  dan  program  pendidikan,  mengembangkan  acara pengajaran  dan  pengembangan  materi.  Prinsip  kontinuitas  meliputi kontinuitas tingkat atau jenjang pendidikan kontinuitas bidang studi atau materi pelajaran; dan kontinuitas di bidang pengembangan kepribadian. Prinsip-efisien meliputi efisiensi penggunaan tenaga, penggunaan dana, waktu dan penggunaan sumber yang lain. Dan prinsip efektifitas mengajar guru, dan  efektifitas dalam penyelenggaraan pendidikan; efektifitas mengajar guru dan efektifitas mencar ilmu akseptor didik (Hendyat Soetopo, dkk,1986: 49-59). Kaprikornus walaupun kurikulum tersebut harus murah, sederhana tetapi keberhasilannya tetap harus diperhatikan. Prinsip yang berkenaan dengan tujuan meliputi: tujuan menjadi pusat dan  arah  semua  kegiatan  pendidikan;  perumusan  komponen  kurikulum mengacu pada tujuan pendidikan; serta ada herarki tujuan pendidikan. Prinsip yang berkenaan dengan isi meliputi : isi mengacu pada tujuan, isi meliputi segi pengetahuan, sikap dan ketrampilan, dan isi disusun dalam urutan logis dan sistimatis. Prinsip berkenaan dengan proses mencar ilmu mengajar meliputi: kesesuaian proses dengan materi pelajaran; proses sanggup melayani perbedaan individu; proses sanggup memperlihatkan urutan kegiatan; proses sanggup membuat kegiatan untuk mencapai tujuan kognitif, afektif dan psikomotorik; proses lebih mengaktifkan siswa, mendorong berkembangnya kemampuan baru; proses  menimbulkan  jalinan  kegiatan  belajar  antar  sekolah,  rumah  dan masyarakat serta lebih ditekankan “learning by doing” disamping “learning is beeing and knowing” di dalam mencar ilmu ketrampilan.

Sedangkan berdasarkan Peter F. Oliva (
1982: 12 – 15) mengemukakan 10 prinsip umum atau aksioma dalam pengembangan kurikulum yaitu sebagai berikut :
  1. Aksioma ke-1 perubahan yaitu perlu dan diinginkan (mendesak) sebab  melalui  perubahan  bentuk-bentuk  kehidupan  akan  tumbuh  dan berkembang. 
  2. Aksioma ke-2 bahwa kurikulum sekolah tidak hanya merupakan refleksi dari, tetapi juga merupakan produk-produk dari waktunya perubahan pendidikan, khususnya perubahan kurikulum dan itu merupakan paket dari perubahan sosial. 
  3. Aksioma ke-3 biasanya dalam perkembangan kurikulum, masuknya unsur-unsur gres dilakukan secara berangsur-angsur, demikian pula waktu mengeluarkan unsur-unsur yang lama. 
  4. Aksioma ke-4 perubahan kurikulum yaitu hasil dari perubahan diri orang-orang (yang terlibat). Dengan demikian pengembangan kurikulum dimulai  dengan  usaha  mengubah  orang-orang  yang  secara  eksklusif menghipnotis perubahan kurikulum. 
  5. Aksioma ke-5 perbaikan kurikulum akan berhasil bilamana diciptakan kerjasama dari banyak sekali kelompok, dan individu-individu didorong untuk aktif berpartisipasi yang melandasi semangat kerjasama yang murni.
  6. Aksioma ke-6 pengembangan kurikulum pada dasarnya yaitu suatu proses pemilihan, termasuk : menentukan diantara disiplin-disiplin ilmu, menentukan tentang  hal-hal  yang  perlu  mendapat  tekanan  atau  perhatian,  menentukan metodologi, menentukan organisasi dan sebagainya. 
  7. Aksioma ke-7 lantaran kebutuhan-kebutuhan pelajar selalu berubah, masyarakat berubah, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang, sehingga kurikulumpun harus berubah dan berkembang. 
  8. Aksioma ke-8 pengembangan kurikulum yaitu suatu proses yang komprehensif.  
  9. Aksioma ke-9 pengembangan kurikulum yang ideal yaitu yang bersifat  komprehensif  dengan  melihat  keseluruhan  unsur  dan  masukan sebagai sistem serta secara sistematis mengikuti seperangkat mekanisme yang  efektif dan efisien. 
  10. Aksioma ke-10 perencanaan kurikulum harus mulai dari kurikulum itu sendiri, sebagaimana seorang guru yang mulai dari dimana akseptor didik berada.

Itulah landasan operasional atau prinsip mudah penyusunan kurikulum yang dikemukakan oleh para ahli. Hal yang perlu diingat kaitannya dengan penyusunan  kurikulum  Pendidikan  Agama  Islam  yaitu “Kurikulum Pendidikan Agama Islam” disusun dengan bertopang dan mengacu pada dasar pemikiran yang Islami, bertolak dari pandangan hidup dan pandangan tentang  insan serta diarahkan kepada tujuan pendidikan yang dilandasi kaidah-kaidah Islami.

Desain Kurikulum

Desain kurikulum yaitu suatu pengorganisasian tujuan, isi serta proses  belajar  yang  akan  diikuti  peserta  didik  pada  berbagai  tahap perkembangan pendidikan (Petter F. Oliva,1982: 34). Beberapa andal menyebut isitilah ini dengan organisasi kurikulum. Muhaimin menyatakan bahwa yang dimaksud dengan organisasi  kurikulum  adalah  struktur  program  kurikulum  yang  berupa kerangka umum program-program pendidikan atau pengajaran yang hendak disampaikan kepada akseptor didik guna tercapainya tujuan pendidikan atau pengajaran yang ditetapkan (Muhaimin,2001:176). Secara lebih sederhana, Nasution merumuskan bahwa organisasi kurikulum yaitu pola atau bentuk materi pelajaran disusun dan disampaikan kepada murid (Nasuition,1994: 176).

Berdasarkan pada apa yang menjadi “Fokus Pengajaran”, sekurang-kurangnya dikenal tiga pola desain kurikulum
(Nana Syaodih Sukmadinata,1997:185), yaitu :
  1. Subject Centered Design, suatu desain kurikulum yang berpusat pada materi ajar. 
  2. Learner Centered Design, suatu desain kurikulum yang mengutamakan peranan siswa (minat dan kebutuhan siswa). 
  3. Problem  Centered  Design,  desain  kurikulum  yang  berpusat  pada masalah-masalah yang dihadapi dalam masyarakat..
Kurikulum yang berorientasi pada materi ajar, merefleksikan bentuk kurikulum yang terususun atas sejumlah matapelajaran, dan diajarkan secara terpisah-pisah. Karena terpisah-pisahnya itu maka kurikulum ini disebut dengan  saparated  subject  curriculum.  Penyajian  matapelajaran  secara terpisah, dianggap sebagai salah satu kelemahan bentuk kurikulum ini (Nasution,1997:185), lantaran bertentangan dengan minat dan kebutuhan akseptor didik. Untuk mengantisipasi kelemahan tersebut diupayakan adanya penggabungan antara dua mata pelajaran atau lebih atau disebut dengan corelated curriculum. Dan kurikulum ini pun esensinya masih kurikulum subject centered dan tidak memakai materi eksklusif berafiliasi dengan kebutuhan dan minat anak  serta  masalah-masalah  yang  hangat  yang  dihadapai  murid  dalam kehidupan sehari-hari (Nasution,1997:195). Maka timbullah learner centered design dan problem centered design yang merefleksikan bentuk integrated curriculum. Tiga  jenis  kurikulum  separated  subject  curriculum,  corelated curriculum dan integrated curriculum yang berdasarkan penulis relevan dibahas lebih jauh dalam sub kepingan ini, untuk sanggup ditemukan dan difahaminya formulasi konsep kurikulum Pendidikan Agama Islam Integratif sebagaimana yang dimaksudkan penulis.

a)    Separated subject curriculum
 
Kurikulum yang disusun dalam bentuk ini menyajikan materi pelajaran dalam bentuk subject-subject atau mata-mata pelajaran tertentu yang terpisah-pisah, yang satu lepas dari yang lain. Tujuan pelajaran yaitu menguasai materi dari tiap-tiap mata pelajaran yang ditentukan. Mata pelajaran itu pada hakekatnya hasil pengalaman umat insan yang disusun oleh para andal secara logis dan sistimatis. Tujuan kurikulum ini, biar akseptor didik mengenal hasil kebudayaan dan pengetahuan umat insan yang telah dikumpulkan semenjak berabad-abad, supaya mereka tidak perlu mencari dan menemukan kembali apa yang telah diperoleh generasi pendahulunya. Dengan jalan ini, mereka akan lebih gampang dan cepat membekali diri untuk menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya. Subject  Curriculum  mempunyai  kebaikan  dan  kelemahan. Kebaikannya antara lain: materi pelajaran sanggup disajikan secara logis, sistimatis dan berkesinambungan, organisasi kurikulum sangat sederhana, gampang direncanakan dan gampang diadakan perubahan kalau diperlukan; kurikulum ini gampang dinilai untuk dilakukan perubahan seperlunya; dan bentuk kurikulum ini memudahkan pelaksana kurikulum (guru) lantaran disamping materi pelajaran memang sudah disusun secara terurai dan sistimatis juga mereka pada umumnya dididik dan dipersiapkan untuk melakukan kurikulum yang demikian (Nasution,1997: 114-115).
 
Adapun kelemahan dari subject curriculum yaitu mata pelajaran diberikan secara terpisah-pisah dan tidak ada kekerabatan antara satu dengan lainnya, sehingga memungkinkan perolehan pengetahuan secara lepas lepas dan parsial; kurikulum ini kurang memperhatikan masalah-masalah kehidupan  faktual  yang  dihadapi  peserta  didik;  kurikulum  tersebut cenderung statis dan ketinggalan zaman; dan kurikulum bentuk ini sangat terbatas, lantaran hanya menekankan pada perkembangan intelektual dan kurang  memperhatikan  perkembangan  lainnya  seperti  emosional  dan sosial (Nasution,1997: 114-115).

b)    Corelated curriculum

Corelated   curriculum   ini   merupakan   modifikasi   subject curriculum  yang  terpisah-pisah  dan  berusaha  mengadakan  kekerabatan dalam pengetahuan akseptor didik serta mencegah penguasaan materi yang banyak tetapi dangkal dan lepas-lepas, sehingga gampang dilupakan dan tidak fungsional (Muhaimin,2001:44). Tampilnya sanggup bervariasi, bisa dengan menghubungkan antara dua  mata  pelajaran  atau  lebih  secara  insidental,  bisa  dengan menghubungkan secara lebih erat, yakni kalau terdapat suatu pokok bahasan atau duduk masalah tertentu yang dibicarakan dalam banyak sekali mata pelajaran, artinya sengaja direncanakan dan tidak hanya bersifat insidental, dan bisa juga  dengan  menghubungkan  beberapa  mata  pelajaran  dengan menghilangkan batas-batas yang ada, atau dengan istilah lain disebut dengan broad fields. Organisasi kurikulum yang kedua ini juga mempunyai keunggulan dan kelemahan. Keunggulannya antara lain: ada kekerabatan antara dua atau lebih mata pelajaran, sehingga sanggup menopang kebulatan pengetahuan dan pengalaman; akseptor didik sanggup mempelajari suatu duduk masalah yang disorotinya dari banyak sekali sudut yang saling berhubungan, yaitu melalui beberapa  mata  pelajaran,  dan  memungkinkan  peserta  didik  untuk menetapkan  pengetahuan  dan  pengalamannya  secara  fungsional (Muhaimin,2001:44). Sedangkan  kelemahannya  antara  lain:  kurikulum  bentuk  ini  pada hakikatnya masih bersifat subject centered dan belum menentukan materi yang langsung  berkaitan  dengan  minat  dan  kebutuhan  peserta  didik serta masalah  kehidupan  sehari-hari,  tidak  memberikan  pengetahuan  yang mendalam wacana mata-mata pelajaran; dan sering menjadi terlampau abstrak, lantaran membicarakan prinsip-prinsip, tema-tema atau masalahmasalah (Muhaimin,2001:45) .

c)    Integrated curriculum

Integrasi berasal dari kata “integer” yang berarti unit. Dengan integrasi  dimaksud perpaduan,  koordinasi,  harmoni,  kebulatan  dan keseluruhan (Nasution,1994:195-196). Kurikulum integratif yaitu bentuk organisasi kurikulum yang  benar-benar  menghilangkan  batas-batas  antara  berbagai  mata pelajaran. Mata pelajaran - mata pelajaran tersebut dilebur menjadi satu keseluruhan dan disajikan dalam bentuk unit. Dengan adanya kebulatan materi pelajaran diharapkan sanggup terbentuk kebulatan kepribadian anak sesuai dengan lingkungan masyarakatnya (Burhan Nurgiantoro,1998: 119). Kurikulum bentuk unit ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
  • Unit merupakan satu kesatuan lingkaran dari seluruh materi pelajaran. Faktor yang menyatukan yaitu masalah-masalah yang diselidiki atau dipecahkan murid. 
  • Unit didasarkan pada kebutuhan anak, baik yang bersifat pribadi maupun  sosial,  baik  yang  menyangkut  kejasmanian  maupun kerohanian.  
  • Dalam unit, anak dihadapkan pada banyak sekali situasi yang mengandung permasalahan  yang  biasanya  berhubungan  dengan  kebutuhan kehidupan sehari-hari (life centered) yang dikaitkan dengan pelajaran di sekolah sesuai dengan tingkat kemampuan anak.
  • Unit mempergunakan dorongan-dorongan sewajarnya pada diri anak dengan melandaskan pada teori-teori belajar.
Pelaksanaan unit sering memerlukan waktu yang relatif lebih usang dari pada pelajaran biasa di kelas (Burhan Nurgiantoro,1998:120). Kurikulum bagaimanapun bentuknya tetap mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan kurikulum integratif ini antara lain: segala sesuatu yang dipelajari bertalian bersahabat sehingga fungsional; sesuai dengan pendapat-pendapat modern wacana belajar, yakni mendasarkan banyak sekali kegiatan dengan minat, kesanggupan dan kematangan murid; memungkinkan kekerabatan yang bersahabat antara sekolah dan masyarakat; serta sesuai dengan faham demokrasi, karena  setiap  akseptor didik  dirangsang  untuk  berfikir sendiri, bekerja sendiri, memikul tanggung jawab dan bekerja sama dengan kelompok.
 
Kekurangan  atau  keberatannya  adalah  kurikulum  ini  sulit dilakukan oleh guru, lantaran mereka tidak mendapat persiapan untuk menjalankan kurikulum unit; tidak memungkinkan akseptor didik untuk ujian umum (tradisional), lantaran permasalahan yang didahapi setiap sekolah tidak sama dan selalu berubah-ubah; memerlukan banyak akomodasi yang tidak dimiliki oleh sekolah, dan tidak memperlihatkan pengetahuan yang logis sistimatis.


Konsep Kurikulum Pendidikan Agama Islam Integratif


Konsep kurikulum integratif yang telah penulis diskripsikan di atas, merupakan  konsep  kurikulum  integratif  pada  umumnya  yang  banyak dikembangkan oleh para ahli. Kurikulum integratif yang dimaksud yaitu bentuk organisasi kurikulum yang benar-benar menghilangkan batas-batas antara  berbagai  mata  pelajaran.  Mata  pelajaran-mata  pelajaran  dilebur menjadi satu dan disajikan dalam bentuk unit. Dari pengertian ini dan ciri-ciri unit sebagaimana telah dijelaskan di atas, mengimplikasikan bahwa seluruh mata  pelajaran  dipelajari  secara  simultan  dalam  suatu  waktu  untuk memecahkan suatu masalah. Kaprikornus faktor yang menyatukan antara beberapa mata pelajaran yaitu duduk masalah tersebut.

Konsep kurikulum Pendidikan Agama Islam integratif yang penulis maksudkan yaitu suatu organisasi kurikulum yang memotong kebentuk pokok untuk memusatkan atas permasalahan hidup yang menyeluruh atau area studi yang didasarkan pada luas yang membawa gotong royong banyak sekali segmen dari kurikulum ke dalam asosiasi yang penuh arti.50 Seluruh materi pelajaran dan pengetahuan yang akan diberikan kepada akseptor didik harus bertalian dengan “poros” tertentu (Abdurrahaman An Nahlawi,1996: 272).

Menurut bahasa dan ilmu-ilmu eksakta, poros yaitu pusat lingkaran. Hal ini diisyaratkan oleh  Abdullatif  Fuad Ibrahim : bahasa, “poros”  berarti  bagian  pusat  dari  suatu  yang disekitarnya  sesuatu-sesuatu  yang  lain  berputar.  Jika  kata  ini digunakan  dalam  kurikulum  sekolah,  mata  dimaksudkan  untuk memperlihatkan adanya pusat perhatian di dalam kurikulum. Segala komponen  kurikulum  bertalian  erat  dan  mempengaruhinya, disamping memperlihatkan adanya kepingan sentral atau esensi dalam kurikulum sekolah yang dilakukan oleh seluruh murid.( Abdullatif Fuad Ibrahim,1996:272).

Definisi  tersebut  mendukung  suatu  gambaran  bahwa  kurikulum integratif yaitu pendidikan yang mempersiapkan anak didik untuk mencar ilmu seumur hidup ini merupakan keyakinan yang berpengaruh diantara pendukung kurikulum integratif  bahwa sekolah harus melihat pendidikan sebagai proses untuk berbagi kecakapan yang dibutuhkan untuk kehidupan di era 21, tidak hanya sekedar pembagian mata pelajaran (Jacobs, H.H,1989).

Dari statemen ini  sanggup ditafsirkan bahwa mata-mata pelajaran tidak harus secara simultan dipelajari akseptor didik untuk suatu duduk masalah dalam suatu waktu menyerupai yang banyak dikembangkan oleh para ahli. Konsep kurikulum Pendidikan Agama Islam integratif yang penulis tawarkan yaitu kurikulum dimana eksistensi mata-mata pelajaran masih tetap, tetapi semua mata pelajaran itu mengitari poros tertentu atau ada semacam benang merah yang mengikat antara banyak sekali mata pelajaran yang ada. Apa yang menjadi poros atau benang merah disini yaitu “potret insan ideal” versi Al Qur’an.

Dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam integratif, faktor yang menyatukan seluruh mata pelajaran bukan “masalah” yang harus dipecahkan oleh akseptor didik, tetapi faktor yang menyatukan yaitu potret insan ideal versi al-Quran yang kemudian dikemas menjadi impian ideal pendidikan Islam
(R.H.A. Soenarjo, 1971:250). Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat : 31

وَعَلَّمَ آدَمَ الأسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (٣١)

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat kemudian berfirman, sebutkan kepada-Ku nama benda itu kalau kau memang orang-orang benar (QS. Al-Baqarah : 31)

Yang dimaksud dengan al-asma’ yaitu nama-nama Allah, yakni nama-nama yang telah kita ketahui dan kita imani wujud-Nya. Al-Asma’ disini bisa berarti nama-nama benda. Sengaja digunakan istilah al-asma’ lantaran hubungannya berpengaruh antara yang menamakan dan yang dinamai, di samping cepat dipahami. Sebab, bagaimanapun pun ilmu yang hakiki itu ialah pemahaman terhadap pengetahuan. Kemudian mengenai bahasa yang digunakan, tentunya berbeda-beda berdasarkan perbedaan bahasa yang tunduk terhadap peraturan bahasa itu sendiri.

Allah Swt, telah mengajari Nabi Adam banyak sekali nama makhluk yang telah diciptakan-Nya.  Kemudian Allah memberinya inspirasi untuk mengetahui eksistensi nama-nama tersebut.   Juga keistimewaan-keistimewaan, ciri-ciri khas dan istilah-istilah yang dipakai.   Di dalam memperlihatkan ilmu ini, tidak ada bedanya antara diberikan sekaligus dengan diberikan secara bertahap. Hal ini lantaran Allah Maha Kuasa untuk berbuat segalanya.  Sekalipun istilah yang digunakan di dalam al-Quran yaitu ‘Allama (pengertiannya yaitu memperlihatkan ilmu secara bertahap).

Kemudian Adam mengajarkan kepada para Malaikat beberapa nama tersebut secara ijmal dengan penyampaian berdasarkan inspirasi atau yang sesuai, berdasarkan kondisi Malaikat.Atau Adam menampakkan nama-nama tersebut kepada mereka dengan menyebut contoh-contohnya saja.   Dengan mengetahui contoh-contoh tersebut, sanggup diketahui perincian tiap-tiap nama, baik yang berafiliasi dengan ciri-ciri khasnya atau wataknya. Di dalam pengajaran dan penuturan Adam kepada para malaikat terkandung tujuan memuliakan kedudukan Adam dan terpilihnya Adam sebagai khalifah.   Dengan demikian, para Malaikat tidak lagi merasa tinggi diri. Sekalipun merupakan penunjukan ilmu Allah yang hanya dianugerahkan kepada siapa saja yang di kehendaki-Nya.

Para Malaikat dituntut menyebutkan nama-nama tersebut, tetapi mereka tidak akan mungkin bisa mengatakannya.  Hal ini lantaran mereka sama sekali belum pernah mengetahuinya.  Dalam ayat ini terkandung kode bahwa  memegang  tampuk  khalifah,  mengatur  kehidupannya,  menata peraturan-peraturannya  dan  menegakkan  keadilan  selama  di  dunia  ini diharapkan pengetahuan khusus yang membidangi duduk masalah kekhalifahan, di samping adanya talenta untuk terjun di bidang ini. Apabila ada sesuatu hal yang membuat kalian heran mengenai khalifah yang diserahkan kepada manusia, dan kalian pun mempunyai dugaan berpengaruh yang disertai dengan bukti, maka silahkan kalian menyebut nama-nama yang Aku sebutkan di hadapan kalian (Ahmad Musthafa al-Maraghy,1985: 135 – 139).

Berdasarkan penafsiran ayat tersebut kita mendapat suatu pelajaran bahwa  orang  yang  menuntut  ilmu  pengetahuan  itu  sudah  ada  sedikit pengetahuan yang dimiliki, sedangkan pengetahuan yang gres diterima itu berfungsi sebagai penegasan pengetahuan yang sedang dipelajari. Sehingga nantinya akan diperoleh suatu pengetahuan yang lengkap wacana sesuatu duduk masalah yang akan dipecahkan antara guru dengan akseptor didik, pada pada dasarnya untuk mencapai tujuan pendidikan agama yang diharapkan bersama sebagai insan ideal.

Dunia pendidikan kita hampir muak dengan duduk masalah kurikulum. Kurikulum silih berganti, dan apabila terjadi suatu duduk masalah dalam praktik pendidikan nasional, maka yang dipermasalahkan yaitu kurikulum, seakanakan kurikulum merupakan lampu aladin untuk membenahi pendidikan nasional (H.A.R. Tilaar,2002: 362).

Sedangkan dalam perubahan pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam tugas masyarakat, guru, dan akseptor didik tidak diikutsertakan dalam penyusunan kurikulum, padahal obyek pertama sebagai pengguna kurikulum yaitu akseptor didik. Dengan kurikulum Pendidikan Agama Islam yang integratif ini diharapkan ada penyatuan tugas dari unsur-unsur yang ada di atas.

Tidak seharusnya setiap perubahan pengembangan kurikulum hanya dilakukan oleh birokrat di pusat, akan tetapi tugas dari masyarakat, guru dan peserta  didik  hendaknya  dipertimbangkan  sehingga  nantinya  akan menghasilkan suatu perubahan pengembangan kurikulum yang tepat guna sesuai dengan harapan masyarakat.

PENUTUP

Kesimpulan

Kurikulum integratif yang dimaksud yaitu bentuk organisasi kurikulum yang benar-benar menghilangkan batas-batas antara  berbagai  mata  pelajaran.  Mata  pelajaran-mata  pelajaran  dilebur menjadi satu dan disajikan dalam bentuk unit.

Dalam menyusun kurikulum integratif, perlu diperhatikan landasan-landasan dalam penyusunannya, yaitu: (1) landasan filosofis, (2) landasan psikologis, (3) landasan sosiologis, (4) landasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, (5) landasan organisatoris. Ke lima landasan tersebut menjadi dasar-dasar dalam tujuan yang ingin dicapai.

Sedangkan Prinsip-prinsip kurikulum Integratif ini, haruslah mengacu pada dasar-dasar agama Islam, yakni al-Qur’an dan Hadis.

Saran-Saran
  1. Kurikulim PAI Integratif sudah selaykanya digunakan oleh seluruh forum pendidikan Islam, hal ini berkaitan dengan tujuan pembelajaran PAI itu sendiri, yakni tidak hanya sekedar mencetak akseptor didik dari segi kognitif saja, namun juga afektif dan psikomotorik. 
  2. Hidden Kurikulum PAI Integratif  ini hendaknya juga diperhatikan serta dipahami oleh pendidik, lantaran menjadi aspek penting yang harus dipahami oleh pendidik PAI.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman An Nahlawi. 1996. Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, Alih Bahasa Herry Noer Ali, Bandung: Diponegoro.

Ahmad Musthafa al-Maraghy. 1985. Tafsir al-Maraghi. Semarang : Toha Putra H.A.R. Tilaar. 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan. Jakarta : Grasindo
 
Ahmad Tafsir. 1992.  Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya

Burhan Nurgiantoro. 1998. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Yogyakarta: BPFE

Hendyat Soetopo, dkk,. 1986.  Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Bina Aksara.

Ibrahim, Al Manahij. Menurut Kutipan Abdurrahman An Nahlawi. 1996. Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, Alih Bahasa Herry Noer Ali, Bandung: Diponegoro.Jacobs, H.H.. 1989.  Interdisciplinary Curriculum; Design and Implementation. Alexandria V : Association for Supervision and Curriculum Development
 
Imam Barnadib. 1982. Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode. Yogyakarta: FIP IKIP Yogyakarta.

Muhaimin, dkk,. 2001. Paradigama Pendidikan Islam Upaya Mengefektifikan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Cet. I .Bandung : Remaja Rosdakarya.

Nana Syaodih Sukmadinata. 1997. Pengantar Kurikulum, Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nasution. 1994. Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.

Noor Syam. 1986. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional.

Omar Muhammad al Toumy al Syaibany. Tt.  Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang.

Petter F. Oliva. 1982. Developing the Curiculum. Canada : Boston Little Brown and CompanyAbdullatif Fuad
 
R.H.A. Soenarjo. 1971.  al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta : Yayasan Penyelenggara al- Quran
 
UU RI No.20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional. 2003. Semarang : Aneka Ilmu

Yusuf Amir Veisal. 1995. Reorientasi Pendidikan Islam, cet. I Jakarta : Gema Insani Press









Related Posts

Post a Comment