-->

Kepemimpinan Delegatif Dalam Bisnis, Pengertian Resistensi, Ancaman Resistensi & Tingkatan Resistensi (Individu Dan Organisasi)

Post a Comment
Kepemimpinan delegatif dalam bisnis 

 Gaya Kepemimpinan delegatif dicirikan dengan jarangnya pemimpin memperlihatkan instruksi Kepemimpinan delegatif dalam bisnis, Pengertian Resistensi, Bahaya Resistensi & Tingkatan Resistensi (Individu Dan Organisasi)
Gaya Kepemimpinan delegatif dicirikan dengan jarangnya pemimpin memperlihatkan arahan, keputusan diserahkan kepada bawahan, dan diharapkan anggota organisasi sanggup menuntaskan permasalahannya sendiri (MacGrefor, 2004). Gaya Kepemimpinan yakni suatu ciri khas prilaku seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin. Dengan demikian maka gaya kepemimpinan seorang pemimpin sangat dipengaruhi oleh huruf pribadinya. 

Kepemimpinan delegatif yakni sebuah gaya kepemimpinan yang dilakukan oleh pimpinan kepada bawahannya yang mempunyai kemampuan, semoga sanggup menjalankan kegiatannya yang untuk sementara waktu tidak sanggup dilakukan oleh pimpinan dengan banyak sekali sebab. Gaya kepemimpinan delegatif sangat cocok dilakukan jikalau staf yang dimiliki mempunyai kemampuan dan motivasi yang tinggi. dengan demikian pimpinan tidak terlalu banyak memperlihatkan instruksi kepada bawahannya, bahkan pemimpin lebih banyak memperlihatkan proteksi kepada bawahannya.


1. Pengertian Resistensi 

Resistensi atau penolakan merupakan salah satu penyebab kurang berhasilnya perubahan yang direncanakan dalam organisasi. Sebagaimana yang disebutkan oleh Maurer, bahwa "perlawanan membunuh perubahan", sementara Foote menggambarkan warna-warni resistensi sebagai "salah satu hal yang paling jahat, kanker kerja yang paling melemahkan (dan mengklaim bahwa) tidak ada seorang pembunuh yang lebih kuat, paradoks atau peluang yang sama yakni kemauan untuk maju dan niat baik". 

Perubahan yakni hal sangat dibutuhkan dalam suatu organisasi untuk menyesuaikan dengan paradigma yang berkembang di tengah masyarakat. Pola pikir dan tingkat kepuasan masyarakat akan senantiasa berkembang, untuk itu sebuah organisasi yang bangun di tengah-tengah masyarakat harus mengikuti perkembangan kebutuhan konsumen. Mind-set ataupun paradigma perihal perubahan seringkali lebih terapresiasi ketika masih dalam tahap formulasi strategi, dan ketika wangsit itu diadopsi kemudian diimplementasikan, resistensi pun muncul bahkan meskipun ketika perubahan tersebut gres saja diusulkan. 

Perubahan terjadi lantaran lingkungan internal dan eksternal. Perubahan berarti bahwa kita harus mengubah dalam cara mengerjakan atau berpikir perihal sesuatu. Perubahan tersebut sanggup terjadi pada struktur organisasi, proses prosedur kerja, SDM, dan budaya. Untuk lebih memahami makna perubahan, terdapat beberapa karakteristik perubahan (Kasali, 2006), yaitu: 
  • Bersifat misterius lantaran tidak gampang dipegang 
  • Memerlukan tokoh populer dalam melaksanakan perubahan 
  • Tidak semua orang bisa diajak melihat perubahan 
  • Perubahan terjadi setiap ketika secara kontinu 
  • Ada sisi lembut dan sisi keras dalam perubahan 
  • Membutuhkan waktu, biaya, dan kekuatan 
  • Dibutuhkan upaya khusus untuk menyentuh nilai dasar/budaya korporat 
  • Banyak diwarnai mitos 
  • Perubahan menjadikan ekspektasi yang sanggup menjadikan getaran emosi dan harapan 
  • Perubahan selalu menyeramkan yang menjadikan kepanikan 

2. Bahaya Resistensi/ Tingkatan Resistensi 

a. Bahaya Resistensi 

1.Resistensi Bersifat Menjalar Dan Menular 

Cukup hanya mengambil satu orang yg ditakuti terhadap perubahan dan menyatakan ketakutan mereka kepada mitra kawan sekerja,dan sebelum anda menyadari telah berkembang sepertin kobaran api. 

Orang berbicara dngan orang yg dijumpai di elevator.lobby,atau cafetariA.Pembicaran semacam itu menurunkan produktivitas lantaran semakin banyak karyawan memakai semakin banyak waktu untuk mendiskusikan ketakutan mereka dan semakin berkurang waktu bekerja. 

2.Resistensi Bersifat Melumpuhkan 

Jika karyawan dipaksa bahwa tidak terdapat alasan untuk melaksanakan perubahan tertentu,maka tidak akan mendapatkan manfaatt dari satu pembinaan misalnya.Waktu dan uang yg dikeluarkan akan sepenuhnya diboroskan. 

3.Resistensi Bersifat Merintangi 

Dengan maksud menciptakan perubahan terlaksana,misalnya bawahan memerlukan peralatan baru.untuk memungkinkan mereka memakai peralatan baru,maka harus dipesan dan dikirimkan, 

Akan tetapi orang Bagian Pembelian yg takut bahwa perubahan akan menghapuskan pekerjaan mereka tidak bergerak memesan peralatan dan karenanya tidak pernah sampai.Pemikiran dibalik ini yakni bahwa tanpa peralatan gres maka tidak akan ada perubahan 

b. Tingkatan Resistensi 

Tingkatan resistensi dari yang paling lemah hingga pada paling besar lengan berkuasa (Wibowo, 2006) yakni sebagai berikut: 

a. Acceptance 

Kesediaan mendapatkan perubahan ditunjukkan oleh sikap antusias, kesediaan bekerja sama, kolaborasi di bawah tekanan manajemen, atau kesediaan mendapatkan perubahan. 

b. Indifference 

Sikap tidak hirau ditunjukkan oleh sikap apatis, hilangnya minat bekerja, bekerja dan hanya jikalau diperintah, serta merosotnya sikap karyawan. 

c. Passive Resistence 

Ditunjukan oleh adanya sikap tidak mau bekerja, melaksanakan protes, dan melaksanakan kegiatan sedikit mungkin. 

d. Active Resistence 

Ditunjukkan dengan cara bekerja lambat, memperpanjang waktu istirahat kerja, meninggalkan pekerjaan, melaksanakan kesalahan, mengganggu atau sabotase. 

3. Alasan Resistensi 

Resistensi atau penolakan pada perubahan pada umumnya akan terjadi ketika ada sesuatu yang mengancam ‘nilai’ seseorang atau individu. Ancaman tersebut bisa saja riel atau bergotong-royong hanya suatu persepsi saja. Dengan kata lain, bahaya ini bisa saja muncul dari pemahaman yang memang benar atas perubahan yang terjadi atau sebaliknya lantaran ketidakpahaman atas perubahan yang terjadi. 

Berikut yakni beberapa alasan utama orang melaksanakan perlawanan terhadap perubahan (dari banyak sekali sumber): 

1. Takut terhadap kemungkinan yang tidak diketahui. 

Perubahan berimplikasi pada ketidakpastian, dan ketidakpastian yakni sesuatu yang tidak memperlihatkan kenyamanan. Ketidakpastian berarti keraguan atau ketidaktahuan terhadap apa yang mungkin akan terjadi. Ini sanggup menjadikan rasa takut, dan menolak perubahan menjadi tindakan yang sanggup mengurangi rasa takut itu. 

2. Takut akan kegagalan. 

Perubahan mungkin menuntut keterampilan dan kemampuan diluar kapabilitasnya. Resistensi terhadap pendekatan/strategi gres kemudian muncul lantaran orang mengetahui bagaimana operasionalisasinya, sementara mereka merasa tidak mempunyai keterampilan gres atau sikap gres yang dituntut. 

3. Tidak setuju dengan kebutuhan akan perubahan. 

Anggota organisasi merasa bahwa langkah yang gres yakni langkah yang salah dan tidak masuk akal. 

4. Takut kehilangan sesuatu yang bernilai baginya. 

Setiap anggota organisasi tentu ingin mengetahui bagaimana dampak perubahan pada mereka. Jika merasa yakin bahwa mereka akan kehilangan sesuatu sebagai hasil dari penerapan perubahan, maka mereka akan menolak. 

5. Enggan meninggalkan ‘wilayah’ yang sudah nyaman. 

Seringkali orang merasa takut menuruti ‘keinginan’ melaksanakan hal gres lantaran akan memaksa mereka keluar dari wilayah yang selama ini sudah nyaman. Melakukan hal gres juga mengandung sejumlah risiko tentunya. 

6. Keyakinan yang salah. 

Tidak sedikit orang merasa yakin bahwa segala sesuatu akan selesai dengan sendirinya, suatu saat, tanpa melaksanakan apapun. Sebenarnya hal demikian sekadar untuk memudahkan diri sendiri dan menghindar dari risiko. Itu tindakan yang sungguh bodoh! 

7. Ketidakpahaman dan ketiadaan kepercayaan. 

Anggota organisasi menolak perubahan ketika mereka tidak memahami implikasinya dan menganggap bahwa perubahan bisa jadi hanya akan lebih banyak membebani daripada apa yang sanggup diperoleh. Situasi demikian terjadi apabila tidak ada kepercayaan antara pihak yang mengusulkan perubahan dengan para anggota organisasi. 

8. Ketidakberdayaan (inertia). 

Setiap organisasi bisa mengalami suatu kondisi ketidakberdayaan pada tingkatan tertentu, dan karenanya mencoba mempertahankan status quo. Perubahan memang membutuhkan upaya, bahkan seringkali upaya yang sangat serius, dan kelelahan pun bisa terjadi. 

4. Tingkatan Resistensi (Individu Dan Organisasi) 

a. Resistensi individual 

Terdapat beberapa faktor pendorong bagi timbulnya resistensi individu dalam organisasi, yaitu: 
  1.  Ketidak amanan ekonomis 
  2. Ketakutan atas hal yang tidak diketahui 
  3. Ancaman pada korelasi sosial 
  4. Kebiasaan 
  5. Kegagalan kebutuhan untuk berubah 
  6. Proses gosip selektif 
  7. Kecenderungan individu 
  8. Iklim ketidakpercayaan 
  9. Ketakutan akan kegagalan 
  10. Konflik pribadi 
  11. Kurangnya kebijaksanaan dan waktu tidak tepat 
  12. Sistem penghargaan tidak memperkuat 

b. Resistensi organisasi 

Terdapat beberapa faktor menjadi penghambat pada organisasional dalam menjalankan proses perubahan (Wibowo, 2006), yaitu: 
  1. Kelambanan struktural 
  2. Kelambanan kelompok kerja 
  3. Tantangan keseimbangan kekuatan yang ada 
  4. Usaha perubahan sebelumnya tidak berhasil 
  5. Fokus atas perubahan terbatas 
  6. Ancaman atas keahlian 
  7. Ancaman pada korelasi kekuasaan yang sudah ada 
  8. Ancaman atas alokasi sumber daya yang sudah ada 

5. Mengatasi Resistensi 

Untuk mengatasi resistensi terhadap perubahan, terlebih dahulu harus dikenali siapa yang memperlihatkan sikap menolak perubahan, kemudian dilakukan komunikasi timbal balik semoga bawahan yang menolak perubahan sanggup memahami manfaat dari perubahan dan atasan mengetahui apa yang diharapkan bawahannya. 

Respons orang terhadap perubahan sanggup bersifat negatif atau positif. Respons negatif dilakukan melalui 8 fase, yaitu: 1 Stabilitas, 2 Tidak bergerak, 3 Penolakan, 4 Kemarahan, 5 Perundingan, 6 Tertekan, 7 Pengujian, dan 8 Penerimaan. 

Sedangkan respons positif berlangsung 5 fase, yaitu: 1 Perasaan optimis secara diam-diam, 2 Pernyataan pesimis terhadap perubahan, 3 Tumbuhnya kesadaran bahwa perubahan merupakan realitas, 4 Keberanian menyatakan optimis terhadap perubahan, 5 Kesediaan turut serta dalam proses perubahan. 

Lalu bagaimana mengatasi hal tersebut? David (2013) mengusulkan tiga pendekatan yang sanggup diterapkan: 

1. Force change strategy. 

Bahwa perubahan harus terjadi (dipaksakan) dan orang yang sanggup mengharuskan terjadinya perubahan yakni orang yang mempunyai kekuasaan, yaitu pimpinan. Ketika pimpinan yang mempunyai kekuasaan formal telah tetapkan adanya perubahan, maka anggota organisasi harus mendapatkan perubahan tersebut. Pendekatan ini tidak selalu buruk, jikalau diterapkan pada kondisi yang tepat. 

2. Educative change strategy. 

Yaitu mengedukasi, atau memperlihatkan pengetahuan dan gosip perihal perlunya suatu perubahan. Melalui edukasi, anggota organisasi diharapkan akan memahami pentingnya perubahan sehingga merekapun akan mendapatkan perubahan tersebut. 

3. Rational/self-interest change strategy. 

Yaitu memperlihatkan benefit yang akan diperoleh individu dari diterapkannya suatu perubahan, sehingga individu tersebut dengan sendirinya akan tertarik melaksanakan perubahan-perubahan. 

Strategi yang sanggup diterapkan dalam mengatasi penolakan terhadap perubahan, hal-hal berikut ini yang sangat memilih keberhasilannya: 

1. Komunikasi dan edukasi. 

Komunikasi maupun edukasi harus dilakukan secara efektif, sehingga semangat dan wangsit dibalik perubahan yang akan diterapkan sanggup ditangkap oleh seluruh anggota organisasi. Efektifitas komunikasi sanggup menekan ketidakpahaman akan pentingnya perubahan yang berujung pada penolakan. Ciptakan jalur-jalur komunikasi yang sempurna dan manfaatkan juga lembaga informal untuk mensosialisasikan suatu perubahan. 

2. Keterlibatan dan partisipasi. 

Apresiasi dan penghargaan terhadap kapabilitas anggota organisasi harus terus menerima tempat. Karena keterlibatan dan partisipasi anggota organisasi dalam mengadopsi maupun mengimplementasi perubahan akan memotivasi dan mendorong semangat mereka dalam mendapatkan perubahan itu sendiri. 

3. Dukungan dan fasilitasi. 

Ide perubahan tentu saja membutuhkan proteksi dan juga fasilitas yamg memadai dari organisasi. Terus mengakomodasi untuk munculnya ide-ide gres maupun penggodokan langkah-langkah yang dibutuhkan untuk pelaksanaannya, menjadi sangat urgen. Tanpa fasilitasi, perubahan hanya sebatas wangsit diatas kertas dan bahkan bisa menjadikan kesinisan atau sikap apatis. 

4. Kesepakatan dan negosiasi. 

Perubahan yang akan diterapkan organisasi mustinya bukan wangsit satu orang atau satu pihak saja, melainkan hasil akad dan perundingan lintas orang, tim ataupun fungsi. Hal ini sangat penting untuk harmonisasi dan terhindar dari konflik yang justru akan bersifat kontraproduktif. 

5. ‘Pemaksaan’ secara eksplisit dan implisit. 

Pemaksaan pada suatu level tertentu seringkali dibutuhkan. Tentu kita harus menerapkannya secara sempurna dan proporsional, menyerupai aturan main yang tegas perihal bagaimana perubahan akan dilaksanakan, atau ketika terjadi kemandekan. 

6. Manipulasi dan kooptasi.

Ini tentunya yang harus dihindari dalam arti yang sebenarnya. Di kurun yang menuntut kesoliditasan kerjasama tim ini, manipulasi dan kooptasi justru sanggup mendorong munculnya kecurigaan atau bahkan kemarahan yang sangat kontraproduktif. 

Kesimpulan 

Kepemimpinan yang merupakan sesuatu yang wajib dalam kehidupan semoga kehidupan menjadi teratur dan keadilan bisa ditegakkan, sehingga tidak berlaku aturan rimba. Kepemimpinan juga sanggup dikatakan penting apabila memanfaatkan dan mengelola potensi setiap anggota dengan cara yang sempurna . Maka dari itu seorang pemimpin dalam mengendalikan kepemimpinannya harus mendorong sikap positif dan meminimalisir semua yang negatif, mencari pemecahan masalah, mempelajari perubahan di sekitarnya, serta mencanangkan seni administrasi yang sempurna untuk mencapai tujuan. 

Kepemimpinan sebagai proses mengarahkan dan mensugesti kegiatan yang berkaitan dengan kiprah dari para anggota kelompok juga merupakan sarana pencapaian tujuan. Pemimpin dalam kehidupan organisasi mempunyai kedudukan yang strategis dan merupakan tanda-tanda sosial yang selalu dibutuhkan dalam kehidupan kelompok.

Related Posts

Post a Comment